Schoolmedia News Jakarta === Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR DPD RI (15/08/2025) menampilkan narasi penuh optimisme: keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disebut telah menjangkau 20 juta penerima, peningkatan prestasi siswa, penciptaan 290 ribu lapangan kerja, hingga surplus pangan nasional.
Namun di balik retorika megah itu, terdapat sejumlah persoalan mendasar yang perlu dikritisi mulai dari validitas data, efektivitas kebijakan, hingga ancaman penghaburan uang negara.
Program MBG disebut telah menjangkau 20 juta anak, ibu hamil, dan menyusui hanya dalam delapan bulan. Klaim ini sulit diverifikasi secara independen. Tidak ada laporan audit terbuka mengenai bagaimana angka itu dihitung, apakah distribusi makanan benar-benar merata, dan apakah menu bergizi sesuai standar WHO maupun Kemenkes.
Lebih jauh, anggaran MBG yang mencapai ratusan triliun rupiah per tahun berpotensi menjadi pemborosan. Dana publik yang seharusnya bisa memperbaiki infrastruktur sekolah, meningkatkan kualitas guru, atau memperkuat layanan kesehatan, justru digelontorkan ke skema konsumtif yang rentan korupsi.
Klaim bahwa prestasi siswa meningkat akibat MBG juga sangat problematis. Prestasi akademik dipengaruhi banyak faktor mutu pengajaran, lingkungan belajar, fasilitas sekolah bukan semata konsumsi makanan gratis. Pernyataan Presiden tanpa data riset longitudinal terkesan sekadar retorika politik untuk legitimasi program.
Pidato Presiden menyebut MBG menciptakan 290 ribu lapangan kerja baru. Namun, sebagian besar pekerjaan yang dimaksud adalah di dapur umum atau sektor distribusi makanan dengan sifat sementara dan tidak berkelanjutan. Pertanyaannya, apakah lapangan kerja ini mampu mengangkat pekerja dari kemiskinan, atau justru menjebak mereka dalam pekerjaan informal berupah rendah?
Selain itu, klaim melibatkan 1 juta petani, nelayan, peternak, dan UMKM juga tidak jelas indikatornya. Apakah mereka memperoleh kontrak yang adil, harga yang menguntungkan, atau hanya dijadikan pemasok dadakan dengan margin tipis? Tanpa transparansi, retorika partisipasi rakyat ini berpotensi menutupi praktik rente dan oligopoli pangan.
Presiden mengumumkan surplus beras lebih dari 4 juta ton, bahkan mengekspor beras dan jagung. Klaim ini kontradiktif dengan realitas harga beras yang dalam setahun terakhir tetap tinggi di pasar domestik. Jika surplus benar terjadi, mengapa rakyat masih menghadapi lonjakan harga pangan?
Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa data surplus pangan lebih merupakan alat propaganda ketimbang refleksi situasi faktual. Padahal, keberlanjutan pangan ditentukan bukan hanya stok di gudang Bulog, melainkan distribusi, keterjangkauan harga, dan perlindungan petani kecil.
Selain MBG, Presiden juga menegaskan pembentukan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk memastikan bantuan tepat sasaran. Namun, integrasi data sosial-ekonomi bukan hal baru. Sebelumnya pemerintah sudah memiliki DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Pertanyaannya, apakah DTSEN benar-benar inovasi, atau sekadar penggantian nama yang memboroskan anggaran?
Program Sekolah Rakyat untuk anak miskin juga penuh tanda tanya. Menjanjikan kasur, selimut, komputer, dan meja belajar bagi setiap anak terdengar mulia, tapi tidak realistis di tengah keterbatasan fiskal negara. Apalagi, pengalaman program serupa di masa lalu menunjukkan rentan salah sasaran, birokratis, dan tidak efektif mengatasi akar kemiskinan.
Jika ditotal, anggaran MBG dan program penanggulangan kemiskinan populis ini berpotensi menguras kas negara ratusan triliun per tahun. Padahal, Indonesia masih dibayangi beban utang besar, kebutuhan investasi pendidikan dan kesehatan, serta krisis iklim yang menuntut anggaran adaptasi.
Kebijakan berbasis konsumsi massal seperti MBG hanya akan menimbulkan ketergantungan jangka pendek tanpa menyentuh akar masalah: rendahnya kualitas pendidikan, ketimpangan distribusi lahan, lemahnya industrialisasi, dan stagnasi produktivitas nasional.
Pidato Presiden Prabowo sarat dengan retorika ââ∠âloncatan besarâââ¬Ã dan perbandingan dengan Brazil. Namun, tanpa verifikasi data independen, klaim itu hanya sebatas narasi politik yang menjauh dari realitas di lapangan. Faktanya, banyak sekolah masih kekurangan fasilitas dasar, jutaan keluarga masih sulit mengakses layanan kesehatan, dan angka kemiskinan ekstrem belum benar-benar terhapus.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan sistem data sosial DTSEN memang terdengar ideal di atas kertas, namun implementasi yang tidak transparan, penuh klaim tanpa bukti, serta potensi pemborosan anggaran menjadikannya kebijakan yang perlu dikritisi keras.
Alih-alih mengucurkan dana jumbo untuk program populis yang manfaat jangka panjangnya meragukan, pemerintah seharusnya lebih fokus pada investasi struktural: memperkuat kualitas pendidikan, memperluas akses layanan kesehatan, melindungi petani kecil, serta membangun sistem distribusi pangan yang adil dan berkelanjutan.
Jika tidak, janji besar dalam pidato Presiden hanya akan menjadi mimpi indah di ruang sidang DPR, sementara rakyat tetap menghadapi kenyataan pahit: pangan mahal, kemiskinan membandel, dan uang negara yang terkuras sia-sia.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar