Cari

Lindungi Anak dari Jerat Digital, Pemerintah Gaungkan PP TUNAS dengan Sentuhan Humanis



Schoolmedia News Jakarta == Senyum ceria anak-anak sekolah mengiringi langkah enam menteri yang berfoto bersama di Museum Penerangan, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Momentum sederhana itu seakan menjadi simbol komitmen bersama: melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya dunia digital melalui implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS).

Tak sekadar regulasi yang menunda akses anak ke media sosial, PP TUNAS menekankan pentingnya menyediakan dunia alternatif yang sehat—dari pendidikan, permainan tradisional, hingga penguatan peran keluarga. Sebab, membatasi akses tanpa memberi ruang pengganti sama saja menutup satu pintu tanpa membuka jendela.

“PP TUNAS dirancang agar anak baru mengakses media sosial ketika sudah matang. Tapi ini harus diimbangi dengan kegiatan positif yang mendukung tumbuh kembang mereka,” tegas Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid, dalam Festival Lindungi Anak di Ruang Digital.

Dalam acara yang juga menjadi saksi penandatanganan Nota Kesepahaman Rencana Aksi Implementasi PP TUNAS itu, hadir pula Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Agama Nasarudin Umar, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, Menteri Pembangunan dan Keluarga Wihaji, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi.

Tito menegaskan bahwa perlindungan anak harus menjadi gerakan nasional. “Kami akan menggerakkan seluruh 552 daerah untuk memastikan 81 juta anak Indonesia terlindungi dari konten negatif,” ujarnya penuh penekanan.

Sementara itu, Menteri PPPA Arifah Fauzi menyoroti pentingnya mengembalikan anak pada dunia nyata yang menyenangkan. “Sekolah bisa menghadirkan permainan tradisional seperti galasin atau engklek agar anak tidak terus-terusan ‘mabar’ gim online,” katanya.

Pesan itu selaras dengan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN): rata-rata anak Indonesia menghabiskan 7,8 jam sehari di depan gawai, sementara waktu berinteraksi dengan orang tua hanya 30 menit. Ketimpangan ini membuat keluarga rawan kehilangan fungsi sebagai tempat utama tumbuh kembang anak.

Mendikdasmen Abdul Mu’ti menekankan bahwa teknologi tak harus menjadi musuh, asalkan diarahkan. “Gunakan medsos untuk belajar dan memperluas wawasan, bukan hanya hiburan tanpa filter,” ucapnya.

Sedangkan Menteri Agama Nasarudin Umar mengajak keluarga menanamkan nilai spiritual dalam penggunaan teknologi. “Awali dengan bismillah, jadikan gawai sebagai ‘buku digital’ untuk mengaji dan belajar,” katanya penuh kelembutan.

Di balik teks hukum dan dokumen formal, PP TUNAS membawa pesan kemanusiaan: negara hadir untuk memastikan anak-anak tidak hanya aman dari sisi digital, tetapi juga tumbuh dalam lingkungan yang kaya interaksi sosial, budaya, dan kasih sayang keluarga.

“Ini bukti nyata gotong royong pemerintah melindungi anak Indonesia di era digital,” ujar Meutya Hafid.

Dengan pendekatan holistik—regulasi, edukasi, hingga revitalisasi permainan tradisional—pemerintah berharap PP TUNAS tidak sekadar menjadi aturan, melainkan gerakan bersama agar anak Indonesia tumbuh ceria, cerdas, dan terlindungi.

Respon Masyarakat Positif 

Terbitnya PP TUNAS disambut dengan beragam respons dari masyarakat. Rina, seorang guru SD di Bekasi, mengaku lega karena aturan ini sejalan dengan keresahannya. “Setiap hari saya melihat murid-murid lebih sibuk dengan ponsel daripada bermain bersama. Kalau ada aturan jelas dari pemerintah, kami para guru lebih percaya diri untuk membatasi penggunaan gawai di sekolah,” ujarnya.

Di sisi lain, orang tua juga merasa aturan ini memberi pegangan. Dedi, ayah dua anak di Jakarta Timur, menilai PP TUNAS bisa membantu keluarga mengatur kebiasaan digital di rumah. “Kadang saya dan istri bingung melarang anak main medsos karena mereka bilang semua temannya juga punya akun. Dengan adanya regulasi, kami jadi punya alasan kuat untuk menunda,” katanya.

Namun, ada pula tantangan yang dirasakan. Siti, ibu rumah tangga di Depok, mengingatkan pentingnya dukungan nyata. “Kalau cuma dilarang tanpa ada kegiatan alternatif, anak-anak tetap akan cari cara untuk main medsos diam-diam. Harus ada ruang bermain aman di lingkungan kami,” keluhnya.

Komunitas pegiat literasi digital juga menyambut positif. Menurut Andi, relawan komunitas literasi digital di Yogyakarta, PP TUNAS bisa membuka peluang kolaborasi. “Kami siap ikut mengisi dengan kelas literasi, permainan tradisional, dan kegiatan edukatif agar anak-anak tetap kreatif tanpa tergantung gawai,” jelasnya.

Bagi anak-anak sendiri, aturan ini dipandang sebagai kesempatan untuk kembali merasakan keceriaan di luar layar. “Asik kalau di sekolah nanti bisa main engklek atau gobak sodor lagi, soalnya selama ini kami cuma main HP,” ungkap Alya, siswi kelas 5 SD di Jakarta sambil tersenyum malu.

Tim Schoolmedia 

Artikel Selanjutnya
Kebijakan Rombel 50 Siswa Dikritik, Praktisi dan Legislator Soroti Dampak terhadap Kualitas Pendidikan
Artikel Sebelumnya
Kejaksaan Agung Pastikan Nadiem Makarim Masih di Indonesia, Pemeriksaan Ketiga Akan Dilakukan

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar