Cari

Bukti Sekolah Tak Kenal Usia: TKA Menjadi Pintu Baru Pengakuan Kesetaraan Pendidikan Nonformal


Bukti Tak Kenal Usia, TKA Menjadi Pintu Baru Pengakuan Kesetaraan Pendidikan Nonformal

Schoolmedia News ​Depok — Di antara ratusan wajah yang tegang namun penuh harap di Sekolah Kegiatan Belajar (SKB) Kota Depok, sosok Agustina (57) tampak menonjol. Bukan karena usianya yang paling senior, tetapi karena semangatnya yang menyala. Ia adalah salah satu dari 130.538 peserta didik program Kejar Paket C (setara SMA) dari seluruh Indonesia yang baru saja menyelesaikan Tes Kemampuan Akademik (TKA) gelombang khusus. Bagi Agustina, TKA bukan sekadar ujian, melainkan pembuktian bahwa menuntut ilmu tak mengenal batas usia.

​"Saya ingin buktikan kepada anak dan cucu saya bahwa menuntut ilmu tidak bisa dibatasi usia," ujar Agustina dengan antusias. Harapannya sederhana: sertifikat nilai TKA yang ia peroleh akan menjadi bukti pengakuan kesetaraan terhadap hasil belajar yang telah ia tekuni selama dua tahun terakhir, sekaligus menjadi inspirasi bagi keluarganya.

​TKA: Pengganti Ujian Kesetaraan dan Penyetaraan Jalur

​Pelaksanaan TKA gelombang khusus yang berlangsung pada 8—9 November 2025 ini menjadi penutup bagi puluhan ribu warga belajar dari 6.128 Satuan Pendidikan Nonformal dan Informal (SPNF), mencakup SKB dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). TKA sendiri kini diposisikan sebagai pengganti ujian kesetaraan, memastikan para murid jalur nonformal mendapatkan pengakuan resmi atas kemampuan akademis mereka.

​Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus (PKPLK), Tatang Muttaqin, mengapresiasi tingginya antusiasme peserta. Menurutnya, TKA memiliki manfaat signifikan untuk menyetarakan jalur pendidikan dan memberikan kesempatan yang lebih setara bagi para murid dari lembaga pendidikan nonformal.

​"TKA ini bisa sebagai penyetaraan jalur pendidikan dan memberikan kesempatan yang lebih setara bagi para murid dari lembaga pendidikan nonformal dan informal," kata Dirjen Tatang saat meninjau pelaksanaan ujian.

​Antusiasme juga ditunjukkan oleh peserta yang lebih muda, seperti Ikrar Ramadhan. Meskipun sempat merasa kesulitan, terutama pada soal Bahasa Inggris, ia mengaku lega setelah menyelesaikan tes dan berharap hasilnya bisa dimanfaatkan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Harapan ini menjadi cerminan mayoritas peserta: menjadikan sertifikat TKA sebagai modal daya saing di dunia kerja.

​Komitmen Melayani Semua Warga Belajar

​Direktur Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Informal (PNFI), Baharudin, yang juga meninjau pelaksanaan TKA di Bekasi, memastikan seluruh proses berjalan lancar dan sesuai prosedur. Total 130.538 peserta yang ikut menunjukkan besarnya kebutuhan akan pengakuan kesetaraan ini.

​Kepala SKB Kota Depok, Abdul Muit, menegaskan bahwa lembaganya sejak awal memang mendorong semua murid untuk mengikuti TKA agar mereka "tidak perlu pusing lagi untuk mendapatkan pengakuan penyetaraan."

​Melihat besarnya animo dan komitmen para warga belajar nonformal yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, Kemendikdasmen melalui Ditjen PKPLK berkomitmen untuk terus mendorong lembaga penyelenggara pendidikan nonformal untuk berpartisipasi, termasuk dalam TKA gelombang susulan. Hal ini menegaskan kembali prinsip bahwa kualitas dan pengakuan pendidikan adalah hak bagi semua anak bangsa, di jalur formal maupun nonformal.

​Catatan Kritis Terhadap Siaran Pers

​Siaran Pers Kemendikdasmen ini berhasil menonjolkan sisi humanis dan sukses pelaksanaan TKA. Namun, sebagai laporan kebijakan publik, terdapat beberapa poin penting yang luput atau kurang detail:

​Pengakuan dan Daya Saing Sertifikat TKA: Siaran pers sangat menekankan harapan peserta untuk menggunakan sertifikat TKA sebagai pengakuan kesetaraan dan modal mencari pekerjaan. Catatan Kritisnya: Tidak ada penjelasan atau penegasan resmi mengenai bagaimana sistem pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi) atau dunia industri (Pemberi Kerja) secara spesifik akan mengakui dan memperlakukan sertifikat nilai TKA ini. Apakah nilai TKA sudah terintegrasi dan diakui setara dengan nilai Ujian Sekolah/Asesmen Nasional (AN) untuk jalur formal?

​Transparansi Standar dan Format TKA: Terdapat keluhan subjektif dari peserta mengenai kesulitan soal (terutama Bahasa Inggris). Catatan Kritisnya: Siaran pers tidak menjelaskan detail standar kompetensi yang diuji dalam TKA, terutama untuk mata pelajaran yang sulit. Mengingat TKA adalah pengganti ujian kesetaraan bagi peserta yang mungkin telah lama meninggalkan bangku sekolah, apakah desain TKA sudah mempertimbangkan aspek pedagogis dan konteks belajar orang dewasa (andragogi) di SPNF?

​Hambatan Partisipasi dan Keberlanjutan: Disebutkan bahwa masih akan ada "gelombang susulan" yang didorong. Catatan Kritisnya: Siaran pers tidak mengidentifikasi apa saja hambatan utama yang menyebabkan ribuan SPNF lainnya belum berpartisipasi dalam gelombang ini. Apakah masalahnya terkait kesiapan infrastruktur digital, biaya pendaftaran, atau akses informasi di daerah terpencil? Identifikasi hambatan ini penting untuk mencapai target pemerataan 100%.

​Data Kualitatif Hasil Awal: Meskipun pelaksanaan dinyatakan sukses, keberhasilan kebijakan diukur dari hasilnya. Catatan Kritisnya: Tidak ada data awal mengenai sebaran nilai atau rata-rata perolehan TKA. Data ini krusial untuk mengukur efektivitas program belajar di SPNF dan seberapa jauh kesenjangan kemampuan akademis antara lulusan Paket C dan lulusan sekolah formal.

Tim Schoolmedia 

Berita Sebelumnya
Merajut Asa Pendidikan Merata: Kolaborasi dan Teknologi Jadi Kunci Redistribusi Guru ASN

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar